Senin, 19 Maret 2012

GANGGUAN TIROID

Ø DEFINISI

Gangguan tiroid mencakup berbagai kondisi penyakit yang mempegaruhi produksi atau sekresi hormon tiroid yang menyebabkan perubahan stabilitas metabolik. Hipertiroid dan hipotiroid adalah sindroma klinik dan biokimia yang muncul dari peningkatan dan penurunan produksi hormon tiroid.

Ø FISIOLOGI HORMON TIROID

· Hormon tiroid, tiroksin (T4) dan triiodotironin (T3) dibentuk pada tiroglobulin, suatu glikoprotein besar yang disintesis dalam sel tiroid. Iodida inorganik memasuki sel folikel tiroid dan dioksidasi oleh tiroid peroksidase dan terikat secara kovalen ke residu tirosin dari tiroglobulin.

· Residu tiroid teriodinase, monoiodotirosin (MIT) dan diioditirosin (DIT) bergabung membentuk iodotironin dalam reaksi yang dikatalisa oleh tiroid peroksidase. DIT dan DIT membentuk T4, sedang MIT dan DIT membentuk T3.

· Hormon tiroid dilepaskan ke aliran darah dengan proteolisis dalam sel tiroid. T4 dan T3 ditranspor ke aliran darah oleh tiga protein: thyroid-binding globulin (TBG), thyroid-binding prealbumun (TBPA), dan albumin. Hanya hormon tiroid bebas (tak terikat) yang mampu masuk ke sel, menimbulkan efek biologis, dan mengatur sekresi thyroid stimulating hormone (TSH) dari kelenjar pituitari.

· T4 disekresi hanya pada kelenjar tiroid, tapi <20% T3 diproduksi disana; mayoritas T3 dibentuk dari pemecahan T4 yang dikatalisa enzim 5’-monodeiodinase yang ditemukan di jaringan perifer. T3 sekitar tiga sampai lima kali lebih aktif dari T4.

· T4 bisa juga bereaksi dengan 5’-monodeiodinase membentuk reverse T3 yang tidak mempunyai aktifitas biologis yang signifikan.

· Produksi hormon tiroid diatur oleh TSH yang disekresi pituitari anterior, yang lalu berada di bawah kontrol negative feedback oleh hormon tiroid bebas di sirkulasi dan pengaruh positif dari hypothalamic thyrotropin-releasing hormone (TRH). Produksi hormon tiroid juga diatur oleh deiodinasi ekstratiroid T menjadi T3 yang bisa dipengaruhi nutrisi, hormon non-tiroid, obat-obatan dan penyakit.

Ø TIROTOKSIKOSIS (HIPERTIROID)

PATOFISIOLOGI

· Tirotoksikosis muncul ketika jaringan terpapar T4 atau T3, atau keduanya, berlebih.

· Tumor pituitari-pensekresi-TSH melepaskan hormon yang aktif secara biologis yang tidak merespon kontrol feedback normal. Tumor bisa menghasilkan prolaktin atau hormon pertumbuhan; sehingga pasien bisa mengalami amenorrhea, galacthorrea atau akromegali.

· Pada penyakit Grave, hipertiroid muncul dari aksi thyroid-stimulating antibodies (TSAb) terhadap reseptor tirotropin pada permukaan sel tiroid. Antibodi Imunoglobulin G (IgG) ini terikat ke reseptor dan mengaktifkan enzim adenilat siklase dengan cara yang sama dengan TSH.

· Suatu nodule tiroid otonom (toxic adenoma) adalah massa tiroid terpisah yang kerjanya bebas dari kontrol pituitari. Hipertiroid biasanya muncul dengan nodule lebih besar (yaitu, dengan diameter >4 cm).

· Pada goiter (gondok) multinodular (penyakit Plummer), folikel dengan fungsi otonom tinggi berada diantara folikel normal atau bahkan folikel yang tidak berfungsi. Tirotoksikosis terjadi ketika folikel otonom menghasilkan hormon tiroid lebih banyak dari yang dibutuhkan.

· Tiroiditis subakut yang sangat nyeri (DeQuervain) dipercaya disebabkan invasi viral pada parenkim tiroid.

· Tiroiditis tanpa rasa sakit (‘sunyi’, limfositik, postpartum) adalah penyebab umum tirotoksikosis; etiologinya masih belum dipahami dan bisa jadi heterogen.

· Tirotoksikosis factia adalah hipertiroid yang dihasilkan oleh konsumsi hormon tiroid eksogen. Ini bisa terjadi ketika hormon tiroid digunakan untuk indikasi yang tidak sesuai, ketika dosis berlebih digunakan, atau ketika digunakan secara rahasia oleh pasien.

· Amiodarone bisa merangsang tirotoksikosis atau hipotiroid. Agen ini menghambat 5’-deiodinase tipe I, menyebabkan pengurangan konversi T4 menjadi T3, dan pelepasan iodin dari obat bisa menyebabkan kelebihan iodin. Amiodarone juga menyebabkan tiroiditis desktruktif dengan hilangnya tiroglubulin dan hormon tiroid.

TAMPILAN KLINIK

· Simtom tirotoksikosis termasuk gugup, emosi labil, mudah pingsan, tidak tahan terhadap panas, turunnya berat bersamaan dengan peningkatan nafsu makan, peningkatan frekeuensi pergerakan intestinal, palpitasi (=denyut jantung yang cepat dan tidak teratur), kelemahan pada otot proksimal (bisa terlihat saat menaiki tangga atau bangkit dari posisi duduk), dan menstruasi tidak teratur serta kuantitasnya kecil.

· Tanda fisik tirotoksikosis bisa termasuk rasa hangat, kulit lembab dan kondisi rambut yang tidak biasanya bagus; lepasnya ujung kuku tangan (onycholysis); retraksi (tertarik) kelopak mata dan kelopak mata atas masuk ke dalam rongga jika memandang ke bawah (lid lag); takikardi sewaktu istirahat; tekanan pulsa yang melebar, dan murmur (suara pelan, bisikan) dari ejeksi sistolik; terkadang ginekomasti pada pria; getaran pada lidah yang terjulur dan tangan yang direntangkan; dan reflek tendon dalam yang hiperaktif.

· Penyakit Grave manifestasinya berupa hipertiroid, pembesaran difus tiroid, dan temuan ekstratiroidal exophthalmos (= gerakan bola mata abnormal), pretibial myxedema, dan thyriod acropachy. Kelenjar tiroid biasanya membesar secara difus, dengan permukaan halus dan konsistensi dari lunak sampai keras. Pada penyakit yang parah, bisa dirasakan getaran melalui stetoskop pada kelenjar.

· Pada tiroiditis subakut, keluhan pasien akan sakit yang parah pada area tiroid, seringkali menyebar ke telinga di sisi yang sama. Demam ringan umum terjadi, dan terlihat tanda sistemik serta simtom tirotoksikosis. Kelenjar tiroid terasa padat lunak pada pemeriksaan fisik.

· Tiroiditis ‘sunyi’ mempunyai rangkaian trifasik yang meniru tiroiditis subakut. Kebanyakan pasien merasakan simtom tirotoksik ringan; retraksi kelopak mata dan lid lag terjadi tapi exophthalmos tidak. Kelenjar tiroid bisa membesar secara difus, tapi pelunakan tiroid tidak terjadi.

· ‘Badai’ tiroid adalah kondisi darurat yang mengancam jiwa yang ditandai dengan tirotoksikosis parah, demam tinggi (seringkali >1030F), takikardi, takipnea (=bernafas dengan sangat cepat), dehidrasi, delirium, koma, mual, muntah, dan diare. Faktor pencetus termasuk infeksi, trauma, operasi, perawatan dengan iodine radioaktif, dan penghentian obat antitiroid.

DIAGNOSA

· Peningkatan radioactive iodine uptake, RAIU (asupan iodin radioaktif) merupakan indikasi hipertiroid sejati; kelenjar tiroid pasien memproduksi T4, T3, atau keduanya (RAIU normal 10-30%) berlebih. Sebaliknya, RAIU rendah mengindikasikan bahwa hormon tiroid berlebih bukan merupakan konsekuensi dari hiperfungsi kelenjar tiroid.

· Hipertiroid yang diinduksi TSH didiagnosa dengan adanya hipermetabolisme perifer, pembesaran difus kelenjar tiroid, peningkatan hormon tiroid bebas, dan peningkatan konsentrasi serum imunoreactif TSH. Karena kelenjar pituitari sangat sensitif bahkan terhadap peningkatan kecil dari T4, TSH yang terdeteksi pada pasien tirotoksik mengindikasikan produksi TSH yang tidak semestinya.

· Adenoma pituitari-pensekresi-TSH didiagnosa dengan kurangnya respon terhadap stimulasi TRH, peningkatan jumlah TSH α-subunit, dan pencitraan radiologi.

· Pada tirotoksik penyakit Grave, ada peningkatan secara umum pada laju produksi hormon dengan peningkatan T3 yang tidak proporsional dengan T4 (Tabel 18-1). Kejenuhan TBG meningkat karena peningkatan serum T4 dan T3, yang dtandai dengan peningkatan asupan resin T3. Sebagai hasil, konsentrasi T4bebas, T3bebas dan index T3 dan T4 bebas meningkat bahkan lebih tinggi serum T4 total yang terukur, dan konsentrasi T3. Jumlah TSH tidak terdeteksi karena negative feedback oleh peningkatan level hormon tirois di pituitari. Diagnosa tirotoksikosis dikonfirmasi oleh pengukuran konsentrasi serum T4, asupan resin T3 (atau T4 bebas), dan TSH. Peningkatan RAIU 24 jam (diperoleh pada individu yang tidak hamil) membuktikan bahwa kelenjar tiroid menyalahgunakan iodin untuk memproduksi hormon tiroid ketika pasien tirotoksik.

· Toxic adenoma bisa menyebabkan hipertiroid dengan nodula yang lebih besar. Karena ada banyak peningkatan serum T3 dari nodul otonom, level T3 harus diukur untuk memastikan toksikosis T3 bukan merupakan penyebab jika level T4 normal. Setelah pembuktian (menggunakan radioiodine scan) toxic thyroid adenoma mengumpulkan iodin lebih banyak dari jaringan disekitarnya, fungsi independen dibuktikan dengan kegagalan nodule otonom untuk menurunkan asupan iodin selama pemberian T3 eksogen.

· Pada goiter multinodula, thyroid scan akan menunjukkan daerah kecil jaringan tiroid yang berfungsi otonom.

Tabel 18-1

· RAIU yang rendah mengindikasikan bahwa hormon tiroid berlebih bukan merupakan konsekuensi hiperfungsi kelenjar tiroid. Ini bisa dilihat pada tiroiditis subakut, tiroiditis ‘sunyi’, struma ovarii, kanker folikular, dan konsumsi hormon troid eksogen.

· Pada tiroiditis subakut, uji fungsi tiroid umumnya melakukan rangkaian trifasik pada penyakit ini. Awalnya, level serum tiroksin naik karena pelepasan hormon tiroid preformed (belum terbentuk sempurna) dari folikel yang hancur. RAIU 24 jam selama waktu ini adalah <2% karena inflamasi tiroid dan supresi TSH oleh peningkatan level tiroksin. Dengan perjalanan penyakit, cadangan hormon intratiroidal habis, dan pasien menjadi sedikit hipotiroid dengan peningkatan TSH yang sesuai. Selama fase pemulihan, cadangan hormon tiroid kembali normal dan peningkatan serum TSH secara bertahap turun ke normal.

· Selama fase tirotoksik dari tiroiditis ‘sunyi’ RAIU 24 jam ditekan sampai <2%. Antibodi antitiroglobulin dan antimikrosomal meningkat pada >50% pasien.

· Tirotoksikosis factia bisa dicurigai pada pasien tirotoksik tanpa ophthalmopathy infiltratif atau pembesaran tiroid. RAIU rendah karena fungsi kenjar tiroid ditekan oleh hormon tiroid eksogen. Pengukuran plasma tiroglobulin menunjukkan jumlah yang sangat kecil.

HASIL YANG DIINGINKAN

Target terapi untuk hipertiroid adalah menormalkan produksi hormon tiroid; mengurangi simtom dan konsekuensi jangka panjang; dan memberikan terapi individual berdasar tipe dan keparahan penyakit, usia pasien dan kelamin, adanya kondisi non-tiroid, dan respon terhadap terapi sebelumnya.

PERAWATAN (TABEL 18-2)

Pengobatan Antitiroid

Thiourea (Thionamide)

· Propylthiouracil (PTU) dan methimazole (MMI) mem-block sintesis hormon tiroid dengan inhibisi sistem enzim peroksidase dari kelenjar tiroid, sehingga mencegah oksidasi iodida dan berkutnya penyertaan membentuk iodotirosin dan akhirnya iodotironin (‘organifikasi’), dan dengan inhibisi penggabungan MIT dan DIT membentuk T4 dan T3. PTU (tapi bukan MMI) juga meng-inhibit perubahan perifer dari T4 menjadi T3.

· Contoh dosis awal termasuk PTU 300-600 mg sehari (biasanya dalam tiga sampai empat dosis terbagi) atau MMI 30-60 mg sehari dalam tiga dosis terbagi. Terdapat bukti bahwa kedua obat bisa diberikan dalam dosis harian tunggal.

· Perbaikan pada simtom dan abnormalitas laboratorium semestinya muncul dalam 4-8 minggu, sewaktu dosis bisa diturunkan menjadi dosis penjagaan. Perubahan dosis sebaiknya dilakukan tiap bulan karena T4 endogen akan mencapai kondisi tunak dalam interval ini. Dosis penjagaan harian adalah PTU 50-300 mg dan MMI 5-30 mg.

· Terapi obat antitiroid sebaiknya dilanjutkan sampai 12-24 bulan untuk memicu remisi jangka panjang.

· Pasien sebaiknya diawasi tiap 6-12 bulan setelah remisi. Jika terjadi serangan ulang, terapi alternatif dengan radioactive iodine (RAI) disukai sebagai rangkaian obat antitiroid kedua, karena terapi lanjutan biasanya jarang memicu remisi.

Tabel 18-2

· Efek samping minor termasuk pruritic maculopapular, arthralgia (= sakit pada persendian), demam, dan lukopenia ringan (hitung darah putih <4000/mm3). Thiourea alternatif bisa dicoba pada situasi ini, tapi cross-sensitivity (reaksi sensitivitas antar obat) terjadi pada 50% pasien.

· Efek samping mayor termasuk agranolusitosis (dengan demam, merasa lemah, gingivitis, infeksi oropharyngeal, dan hitung granulosit <250/mm3), anemia aplastik, sindroma seperti-lupus, polymyositis (= kondisi yang ditandai inflamasi dan degenerasi dari otot skelet), intoleransi saluran cerna, hepatotoksisitas, dan hipoprotrombinemia. Agranulositosis, jika terjadi, selalu terjadi dalam tiga bulan pertama terapi; pengawasan rutin tidak dianjurkan karena onset yang mendadak. Pasien yang telah merasakan efek samping mayor terhadap salah satu thiourea sebaiknya tidak beralih ke obat lain karena cross-sensitivity (reaksi sensitivitas antar obat).

Iodida

· Iodida sebenarnya menghalangi pelepasan hormon tiroid, inhibit biosintesis hormon tiroid dengan menghalangi penggunaan iodida intratiroid, dan menurunkan ukuran dan vaskularitas kelenjar.

· Perbaikan simtom terjadi dalam 2-7 hari sejak memulai terapi, dan konsentrasi serum T3 dan T4 bisa berkurang selama beberapa minggu.

· Iodida sering digunakan sebagai terapi tambahan untuk menyiapkan pasien dengan penyakit Grave sebelum menjalani operasi, untuk menginhibisi pelepasan hormon tiroid dan dengan cepat mencapai keadaan euthyroid (= kelenjar tiroid berfungsi normal) pada pasien yang sangat tirotoksik dengan dekompensasi kardia, atau untuk meng-inhibit pelepasan hormon tiroid setelah terapi RAI.

· Kalium iodida tersedia sebagai larutan jenuh (SSKI, 38 mg iodida per tetes) atau larutan Lugol, mengandung 6,3 mg iodida per tetes (Tabel 18-2).

· Dosis awal tipikal SSKI adalah 3-10 tetes tiap hari (120-400 mg) dalam air atau jus. Ketika digunakan untuk mempersiapkan pasien sebelum operasi, sebaiknya diberikan 7-14 hari sebelum operasi.

· Sebagai pelengkap RAI, SSKI sebaiknya tidak digunakan sebelum tapi sebaiknya 3-7 hari setelah perawatan dengan RAI sehingga radioactive iodine bisa terkumpul di tiroid.

· Efek samping termasuk reaksi hipersensitivitas (kulit kemerahan, drug fever, rhinitis [= inflamasi membran mukosa hidung], conjunctivitis); pembengkakan kelenjar ludah, ‘iodisme’ (rasa logam, mulut dan tenggorokan terbakar, nyeri pada gigi dan gusi, simtom head cold, dan terkadang gangguan perut dan diare); dan ginekomasti.

Adrenergik blocker

· β blocker tekah digunakan secara luas untuk mengurangi simom tirotoksik seperti palpitasi, cemas, tremor, dan tidak tahan panas. Agen ini tidak mempunyai efek pada tirotoksikosis perifer dan metabolisme protein dan tidak mengurangi TSAb atau mencegah ‘badai’ tiroid. Propanolol dan nadolol secara parsial menghalangi perubahan T4 menjadi T3, tapi kontribusinya kecil terhadap terapi keseluruhan.

· Β blocker biasanya digunakan sebagai terapi tambahan dengan obat antitiroid, RAI, atau idodida dalam penanganan penyakit Grave atau toxic nodule; pada persiapan sebelum operasi; atau pada ‘badai’ tiroid. β blocker adalah terapi primer hanya untuk tiroiditis dan hipertiroid yang diinduksi iodin.

· Dosis propanolol yang dibutuhkan untuk mengurangi simtom adrenergik bervariasi, tapi dosis awal 20-40 mg empat kali sehari efektif untuk kebanyakan pasien (denyut jantun <90 denyutan per menit). Pasien lebih muda atau dalam kondisi lebih toksik bisa membutuhkan sampai 240-480 mg/hari).

· β blocker dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung kongestif, kecuali kelainan itu hanya karena takikardi (curah tinggi), dan pada pasien yang mengembangkan cardiomyopati dan gagal jantung. Efek samping lain termasuk mual, muntah, cemas, insomnia, lightheadedness, bradikardi, dan gangguan hematologi.

· Simpatolitik yang bekerja sentral (seperti, clonidin) dan antagonis Ca channel blocker (seperti, diltiazem) bisa berguna untuk mengontrol simtom ketika dikontraindikasikan untuk β blocker.

Radioactive iodine

· Natrium iodida 131 (131I) adalah cairan oral yang terkumpul di tiroid dan mengganggu sintesis hormon dengan masuk ke hormone tiroid dan tiroglobulin. Setelah periode beberapa minggu, folikel yang telah diambil RAI dan folikel disekitarnya mengalami nekrosis selular dan fibrosis jaringan interstitial.

· RAI adalah agen pilihan untuk penyakit Grave, nodul otonom toksik, dan toxic multinodular goiter. Kehamilan merupakan kontraindikasi absolut untuk penggunaan RAI.

· β blocker adalah terapi tambahan primer untuk RAI, karena bisa diberikan kapan saja tanpa perlu menyesuaikan dengan terapi RAI.

· Pasien dengan penyakit kardia dan pasien lansia sering dirawat dengan thionamide sebelum RAI ablation (ablation = pengangkatan jaringan) karena hormon tiroid akan naik singkat setelah perawatan RAI karena pelepasan preformed hormon tiroid.

· Obat-obat antitioid sebaiknya tidak rutin diberikan setelah RAI, karena penggunaannya dihubungkan dengan tingginya kejadian serangan hipertiroid setelah perawatan atau hipertiroid yang bertahan.

· Jika iodida diberikan, sebaiknya diberikan 3-7 hari setelah RAI untuk mencegah interaksi dengan asupan RAI di kelenjar tiroid.

· Target terapi adalah menghancurkan sel tiroid yang hiperaktif, dan dosis tunggal 4000-8000 rad menghasilkan kondisi euthyroid pada 60% pasien setelah 6 bulan atau kurang. Dosis kedua RAI sebaiknya diberikan 6 bulan setelah RAI pertama jika pasien tetap hipertiroid.

· Hipotiroid umum terjadi setelah RAI. Efek samping akut, jangka pendek, termasuk pelunakan tiroidal ringan dan dysphagia (= kesulitan menelan). Terapi lanjutan jangka panjang belum terbukti meningkatkan resiko terbentuknya karsinoma tiroid, leukimia, atau defek kongenital.

Operasi

· Pengangkatan kelenjar tiroid adalah perawatan pilihan untuk cold nodule yang sudah ada, goiter yang sangat besar, dan pasien yang dikontraindikasikan untuk thionamide (yaitu, alergi atau efek samping) dan RAI (yaitu, kehamilan).

· Jika direncanakan tiroidektomi, PTU atau methimazole biasanya diberikan sampai pasien euthyroid secara biokimia (biasanya 6-8 minggu), diikuti penambahan iodida (500 mg.hari selama 10-14 hari) sebelum operasi untuk menurunkan vaskularitas kelenjar. Levothyroxine bisa ditambahkan untuk menjaga kondisi euthyroid sementara thidinamide dilanjutkan.

· Propanolol telah digunakan selama beberapa minggu sebelum operasi dan 7-10 hari setelah operasi untuk menjaga denyut <90 denyut per menit. Kombinasi pretreatment dengan propanolol dan 10-40 hari kalium iodida juga telah diajukan.

· Komplikasi termasuk serangan ulang hipertiroid atau hipertiroid yang bertahan (0,6-0,8%), hipotiroid (sampai 49%), hipoparatiroid (sampai 4%), dan gangguan pita suara (sampai 5%). Serangan hipotiroid yang sering membutuhkan terapi lanjutan.

Perawatan ‘Badai’ Tiroid

· Terapi berikut sebaiknya segera dilakukan: supresi pembentukan dan sekresi hormon tiroid, terapi antiadrenergik, pemberian glukokortikoid, dan perawatan komplikasi terkait.

· PTU dosis besar adalah thionamide pilihan karena mengganggu produksi hormon tiroid dan menghalangi perubahan T4 menjadi T3 di perifer.

· Iodida, yang dengan cepat menghalangi pelepasan preformed hormon tiroid, sebaiknya diberikan setelah terapi PTU dimulai untuk menginhibit penggunaan iodine oleh kelenjar yang hiperaktif.

· Terapi pendukung, termasuk asetaminofen sebagai antipiretik (aspirin dan NSAID lain bisa menggantikan hormon tiroid yang terikat), penggantian cairan dan elektrolit, sedatif, digitalis, antiaritmia, insulin, dan antibiotik sebaiknya diberikan sesuai indikasi. Plasmapheresis (= pemindahan plama dari darah) dan dialisis peritoneal telah digunakan untuk mengeluarkan hormon berlebih pada pasie yang tidak merespon terapi konservatif.

· Tabel 18-3

EVALUASI HASIL TERAPI

· Setelah terapi (thionamide, RAI, atau operasi) untuk hipotiroid telah dimulai, pasien sebaiknya dievaluasi tiap bulan sampai mencapai kondisi euthyroid.

· Tanda klinik berlanjutnya tirotoksikosis atau perkembangan hipotiroid sebaiknya diperhatikan.

· Setelah penggantian tiroksin dimulai, target adalah mempertahankan level tiroksin bebas dan konsentrasi TSH dalam rentang normal. Setelah didapat dosis tiroksin yang tetap, pasien bisa dievaluasi tiap 6-12 bulan.

Ø HIPOTIROID

PATOFISIOLOGI

· Mayoritas pasien hipotiroid mempunyai kegagalan kelenjar tiroid (hipotiroid primer), penyebab termasuk tiroiditis otoimun kronik (panyakit Hashimoto), iatrogenic (= penyakit karena pemeriksaan atau perawatan medis) hipotiroid, defisiensi idine, defek enzim, hipoplasia tiroid, dan goitrogen.

· Kegagalan pituitari (hipotirid sekunder) adalah sebab tidak umum yang muncul dari tumor pituitari, terapi operasi, radiasi pituitari eksternal, nekrosis pitutari setelah melahirkan, tuberkulosis, histiocytosis, dan mekanisme otoimun.

TAMPILAN KLINIK

· Manifestasi hipotiroid pada orang dewasa termasuk kulit kering, tidak tahan dingin, berat bertambah, konstipasi, kelemahan, lethargy (= kondisi patologi tidur berlebih atau tidak responsif), fatigue (= merasa sangat capai), depresi, dan ucapan yang lambat dan kasar. Pada anak, defisiensi hormn tiroid manifestasi bisa berupa retardasi mental.

· Tanda fisik termasuk kulit dan rambut yang kasar, kulit dingin, periorbital puffiness, bradikardi, kejang otot, myalgia (=nyeri otot), dan kekakuan. Sindrom neurologik reversibel seperti carpal tunnel syndrome (=tangan dan jari terasa sangat nyeri karena tekanan pada saraf, salah satunya disebabkan gerakan berulang dalam waktu yang lama), ploineuropati, dan disfungsi serebral juga bisa terjadi. Umum terjadi objective weakness (dengan otot proksimal lebih terpengaruh dari otot distal) dan relaksasi yang lambat dari tendon dalam.

· Kebanyakan pasien dengan hipotiroid sekunder mempunyai tanda klinik gangguan kerja pituitari seperti menstruasi tidak normal dan menurunnya libido, atau bukti adanya adenoma pituitari seperti defek penglihatan, galacthorrea, atau tampilan akromegali.

· Koma myxedema adalah tahap akhir hipotiroid yang tidak ditangani dan manifestasinya berupa hipotermia, simtom hipotiroid tahap akhir, dan perubahan sensori yang berkisar dari delirium sampai koma. Penyakit yang tidak dirawat dihubungkan dengan tingkat mortalitas yang tinggi.

DIAGNOSIS

· Peningkatan TSH adalah bukti pertama dari hipotiroid primer. Banyak pasien mempunyai level T4dalam rentang normal (hipotiroid kompensasi) dan beberapa, jika ada, simtom hipotiroid. Dengan perjalanan penyakit, konsentrasi T4 jatuh di bawah normal. Konsentrasi T3 sering dijaga di tingkat normal meski T4 rendah. RAIU bukan merupakan uji yang berguna pada evaluasi hipotiroid.

· Hipotiroid sekunder bisa dicurigai pada pasien dengan penurunan jumlah tiroksin dan jumah TSH yang rendah atau normal.

HASIL YANG DIINGINKAN

Tujuan perawatan hipotiroid adalah menormalkan konsentrasi hormon tiroid di jaringan, mengurangi simtom, mencegah defisit neurologik pada bayi yang baru lahir dan anak, dan memulihkan abnormalitas biokimia pada hipertiroid.

PERAWATAN HIPOTIROID (TABEL 18-4)

· Levotiroksin (L –tiroksin) adalah obat pilihan untuk penggantian hormon tiroid dan terapi supresif karena stabil secara kimia, relatif murah, bebas antigen, dan mempunyai potensi yang seragam; tetapi, semua sediaan tiroid komersial yang ada bisa digunakan.

· Penggantian sediaan levotiroksin sebaiknya dilakukan dengan hati-hati kecuali telah dicapai bioekivalensi.

· Karena T3 (dan bukan T4) adalah bentuk aktif biologis, pemberian levotiroksin menghasilkan penumpukan hormon tiroid yang siap diubah menjadi T3.

· Kolestiramin, kalsium karbonat, sucralfat, aluminium hidroksida, ferrous sulfate, sediaan kedelai, dan suplemen fiber bisa mengganggu absorpsi levotiroksin dari saluran cerna. Obat yang meningkatkan kliren T4 noniodinasi termasuk rifampin, carbamazepin, dan mungkin fenitoin. Amiodarone bisa menghalangi konversi T4 menjadi T3.

· Pasien muda dengan penyakit yang sudah lama diidap atau pasien lebih tua tanpa penyakit kardia yang diketahui bisa memulai terapi dengan levotiroksin 50 μg sehari dan ditingkatkan menjadi 100 μg sehari setelah 1 bulan.

· Dosis harian awal yang dianjurkan untuk pasien lebih tua atau mereka dengan penyakit kardiak adalah 25 μg/hari yang dititrasi dengan peningkatan 25 μg tiap bulan untuk mencegah stress pada sistem kardiovaskular.

· Levotiroksin adalah obat pilihan pada wanita hamil, dan target perawatan adalah mengurangi TSH sampai 1 mIu/l dan menjaga konsentrasi T4 bebas pada rentang normal.

Tabel 18-4

· Pasien dengan hipotiroid subklinik dan peningkatan pada TSH (>10 mIu/l) dan titer TSAb yang tinggi atau sebelumnya menjalani perawatan dengan 131I bisa mendapat manfaat dari perawatan dengan levotiroksin.

· Terapi supresif TSH dengan levotiroksin bisa juga diberikan pada pasien dnegan penyakit tiroid nodular dan pembesaran goiter, kepada pasien dengan riwayat iradiasi tiroid, dan untuk pasien dengan kanker tiroid.

· Tiroid USP (atau tiroid terdesikasi/dihilangkan kandungan air) adalah produk dari hewan dengan stabilitas hormon yang tidak bisa diprediksi dan bisa antigenik pada pasien alergi. Merek generik murah bisa tidak bioekivalen.

· Tiroglobulin adalah agen biologis terstandarisasi untuk membuat rasio T4:T3 2,5:1. agen ini lebih mahal dari ekstrak tiroid dan tidak mempunyai keuntungan klinik.

· Liothyronine (T3 sintetik) memmpunyai potensi yang seragam tapi dengan efek samping kardia yang lebih tinggi, lebih mahal, dan sulit pengawasannya dengan uji laboratorium konvensional. Respon dimonitor dengan assay TSH.

· Liotrix (T4:T3 dalam rasio 4:1) stabil secara kimia, murni, dan mempunyai potensi yang bisa diprediksi tapi mahal. Agen ini rasio terapinya rendah karena sekitar 35% T4 dirubah menjadi T3 di perifer.

· Dosis hormon tiroid berlebih bisa menyebabkan gagal jantung, angina pektoris, dan infark miokardia. Reaksi alergi atau idiosinkrasi bisa terjadi dengan produk alami dari hewan seperti tiroid terdesikasi dan tiroglobulin, tapi sangat jarang dengan produk sintetis yang digunakan saat ini. Hormon tiroid esogen berlebih bisa mengurangi densitas tulang dan meningkatkan resiko patah.

PERAWATAN KOMA MYXEDEMA

· Untuk mencegah mortalitas diperlukan terapi segera dan agresif dengan tiroksin IV bolus, 300-500 μg.

· Terapi glukokortikoid dengan hidrokortison IV, 100 mg tiap 8 jam, sebaiknya diberikan sampai supresi adrenal teratasi.

· Sadar, turunnya konsentrasi TSH, dan tanda vital yang normal diharapkan terjadi dalam 24 jam.

· Dosis penjagaan tiroksin umumnya 75-100 μg sampai pasien stabil dan terapi oral dimulai.

· Terapi pendukung harus dimulai untuk mempertahankan ventilasi yang cukup, kondisi euglisemia, tekanan darah, dan suhu tubuh. Kelainan seperti sepsis dan infark miokardia harus didiagnosa dan dirawat.

EVALUASI HASIL TERAPI

· Konsentrasi serum TSH adalah parameter pengawasan paling sensitif dan spesifik untuk penyesuaian dosis levotiroksin. Konsentrasi mulai jatuh dalam jam dan biasanya akan normal dalam 2-6 minggu.

· Konsentrasi TSH dan T4 sebaiknya diperiksa tiap 6 minggu sampai kondisi eutiroid tercapai. Peningkatan TSH menunjukkan penggantian yang kurang. Konsentrasi serum T4 bisa berguna untuk mendeteksi ketidakpatuhan, gangguan absopsi, atau perubahan pada bioekivalensi produk levotiroksin.

· Pada pasien dengan hipotiroid karena kegagalan hipotalamik atau pituitari, perbaikan sindrom klinik dan pemulihan serum T4 ke rentang normal merupakan satu-satunya kriteria yang ada untuk memperkirakan dosis penggantian levotiroksin yang sesuai.

DIABETES MELLITUS

Ø DEFINISI

Diabetes mellitus (DM) adalah sekelompok kelainan metabolik yang ditandai oleh hiperglikemia dan kelainan pada metablisme karbohidrat, lemak, dan protein. DM muncul dari defek pada sekresi insulin, sensitivitas insulin atau keduanya. Komplikasi mikrovaskular, makrovaskular kronik serta neuropati bisa terjadi.

Ø PATOFISIOLOGI

· DM tipe I (sebelumnya disebut tergantung insulin atau diabetes juvenile) merupakan 10% dari semua kasus diabetes. Umumnya terjadi pada masa kanak-kanak atau dewasa muda dan biasanya muncul dari perusakan sel β pankreas yang dimediasi sistem imun, sehingga terjadi defisiensi insulin absolut. Ada periode preklinis yang panjang (sampai 9-13 tahun) yang ditandai oleh kehadiran penanda imun ketika perusakan sel β diperkirakan terjadi. Hiperglisemia terjadi ketika 80-90% sel β hancur. Ada masa remisi singkat (fase ‘bulan madu’) yang diikuti munculnya penyakit dengan resiko yang dihubungkan dengan komplikasi dan kematian. Faktor yang memunculkan respon autoimun tidak diketahui, tapi prosesnya dimediasi oleh makrofag dan limfosit T dengan autoantibodi yang tersirkulasi ke berbagai antigen sel β (seperti, antibodi islet cell, antibodi insulin).

· DM tipe II (sebelumnya disebut tidak tergantung insulin) merupakan 90% dari semua kasus DM dan biasanya ditandai dengan resistensi terhadap insulin dan defisiensi insulin. Resistensi insulin manifestasinya berupa peningkatan lipolisis dan produksi asam lemak bebas, peningkatan produksi glukosa hepatik, dan penurunan asupan glukosa ke otot rangka. Disfungsi sel β terjadi progresif dan memperburuk kontrol atas glukosa darah dengan berjalannya waktu. DM tipe II terjadi ketika gaya hidup diabetogenik (asupan kalori berlebih, kurang latihan fisik, dan kegemukan) yang memperburuk genotip tertentu.

· Sebab diabetes yang tidak umum (1-2% dari semua kasus) termasuk kelainan endokrin (seperti akromegali, sindrom Cushing), gestational diabetes mellitus (GDM), penyakit pada pankreas (seperti, pankreatitis), dan obat-obatan (seperti, glukokortikoid, pentamidine, niasin, dan α-interferon).

· Kelainan glukosa puasa dan kelainan toleransi glukosa adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan pasien dengan level glukosa plasma lebih tinggi dari normal tapi tidak didiagnosa DM (lihat bagian DIAGNOSA). Kelainan ini adalah faktor resiko untuk berkembangnya DM dan penyakit kardiovaskular dan dihubungkan dengan sindrome resistensi insulin.

· Komplikasi mikrovaskular termasuk retinopati, neuropati, dan nefropati. Komplikasi makrovaskular termasuk penyakit jantung koroner, stroke, dan penyakit vaskular perifer.

Ø TAMPILAN KLINIK

DM TIPE I

· Individu dengan DM tipe I umumnya kurus dan rentan terkena diabetic ketoacidosis (DKA) jika insulin tidak diberikan atau di bawah kondisi stress parah dimana terjadi ekskresi berlebih hormon yang kerjanya berlawanan dengan insulin.

· Sekitar 20-40% pasien akan mengalami DKA setelah beberapa hari mengalami poliuria, polidipsia, polifagia, dan berat turun.

DM TIPE II

· Pasien DM tipe II seringkali asimtomatik. Tetapi, beberapa mengalami komplikasi serius, seperti neuropati.

· Diagnosa DM tipe II bisa dilakukan pada pasien obese, pasien dengan keluarga dekat yang mengidap DM tipe II, berasal dari etnis resiko tinggi, wanita yang baru saja melahirkan bayi dengan berat badan besar atau dengan riwayat untuk GDM, pasien dengan hipertensi, atau pasien dengan trigliserida tinggi (> 250 mg/dl) atau high density lipoprotein cholseterol (HDL-C) rendah (<35 mg/dl).

Ø DIAGNOSA

· Skrining untuk DM tipe II sebaiknya dilakukan tiap 3 tahun pada semua dewasa dari usia 45 tahun. Uji bisa dilakukan pada usia lebih muda dan lebih sering pada individu dengan faktor resiko (seperti, riwayat keluarga untuk DM, obesitas, jarang melakukan aktivitas fisik).

· Uji skrining yang dianjurkan umumnya adalah fasting glucose plasma, FPG (glukosa plasma puasa). FPG normal <110 mg/dl.

· Impaired fasting glucose, IFG (kelainan glukosa puasa) adalah FPG >110 mg/dl tapi <126 mg/dl.

· Impaired glucose tolerance, IGT (kelainan toleransi glukosa) didiagnosa ketika sampel oral glucose tolerance test, OGTT (uji toleransi glukosa oral) yang diambil 2 jam setelah makan >140 mg/dl tapi <200 mg/dl.

· Revisi 1997 untuk kriteria diagnosa untuk DM pada Tabel 17-1.

· Wanita hamil sebaiknya menjalani penilaian untuk resiko GDM pada kunjungan prenatal pertama dan dilanjutkan dengan uji glukosa jika beresiko tinggi (seperti, obesitas, riwayat pribadi untuk GDM, glikosuria, atau riwayat keluarga yang kuat untuk DM). Skrining tidak diperlukan pada pasien resiko rendah GDM (usia di bawah 25 tahun, berat badan normal, tidak ada riwayat keluarga untuk DM, tanpa riwayat gangguan metabolisme glukosa atau kesulitan melahirkan, dan tidak dari etnik yang beresiko tinggi untuk terkena DM).

Tabel 17-1

Tabel 17-2

Ø HASIL YANG DIINGINKAN

Tujuan terapi pada DM mengurangi simtom hiperglisemia, mengurangi onset dan perkembangan komplikasi mikrvaskular dan makrovaskular, mengurangi mortalitas, dan meningkatkan kualitas hidup. Level glukosa plasma dan darah lengkap serta hemoglobin terglikosilasi (HbA1C) yang diinginkan pada Tabel 17-2.

Ø PERAWATAN

PRINSIP UMUM

· Glisemi yang mendekati normal mengurangi resiko komplikasi penyakit mikrovaskular, tapi diperlukan penanganan agresif pada faktor resiko kardiovaskular (yaitu, berhenti merokok, penanganan dislipidemia, kontrol atas tekanan darah, terapi antiplatelet) untuk mengurangi resiko penyakit makrovaskular.

· Penanganan yang sesuai membutuhkan penetapan target untuk glisemia, tekanan darah, dan tingkat lipid, pengawasan teratur untuk komplikasi; melakukan self-monitoring blood glucose, SMBG (monitoring mandiri glukosa darah) yang sesuai; dan penilaian atas parameter laboratorium.

TERAPI NON FARMAKOLOGI

· Terapi nutrisi medis dianjurkan untuk semua pasien. Untuk pasien DM tipe I dengan berat badan rendah, fokusnya pada pengaturan pemberian insulin dengan diet yang seimbang untuk mencapai dan menjaga berat badan yang sesuai. Pada umumnya, diet tinggi karbohidrat (dalam bentuk gula sederhana dalam hidangan campuran), rendah lemak (terutama untuk lemak jenuh), rendah kolesterol sesuai. Kebanyakan pasien DM tipe II juga membutuhkan pembatasan kalori. Makanan ringan sebelum tidur dan antar waktu makan biasanya tidak dibutuhkan jika penanganan farmakologi sesuai.

· Kebanyakan pasien mendapat manfaat dari peningkatan aktivitas fisik. Latihan aerobik menurunkan resistensi insulin dan bisa memperbaiki glisemia pada beberapa pasien. Latihan fisik sebaiknya dimulai ringan pada pasien yang sebelumnya jarang beraktivitas fisik. Pasien lansia dan mereka dengan penyakit aterosklerotik sebaiknya menjalani evaluasi kardiovaskular sebelum memulai porgram latihan.

TERAPI FARMAKOLOGI

Insulin

· Berbagai sediaan insulin berbeda pada sumbernya (manusia atau hewan), kemurnian, mula kerja, waktu untuk mencapai puncak efek, durasi efek, dan tampilan (Tabel 17-3).

· Insulin umum mempunyai mula kerja yang relatif lambat ketika diberikan subkutan, memerlukan injeksi 30 menit sebelum makan untuk mendapatkan kontrol glukosa post prandial yang optimal dan mencegah hipoglisemi setelah makan yang tertunda.

· Insulin lispro dan insulin aspart adalah analog insulin yang diproduksi dengan modifikasi pada molekul insulin manusia. Insulin ini lebih cepat diserap dengan durasi efek lebih singkat dari insulin normal. Insulin ini bisa diberikan segera sebelum makan, menghasilkan efek lebih baik untuk menurunkan glukosa post prandial daripada insulin normal pada DM tipe I, dan mengurangi hipoglisemi setelah makan yang tertunda.

· NPH dan insulin Lente durasinya intermediet, dan insulin Ultralente durasinya panjang. Variasi pada absorpsi, penggunaan oleh pasien, dan perbedaaan pada farmakokinetik bisa menyebabkan respon gluksoa yang labil, nocturnal (malam hari) hipoglisemia, dan hiperglisemia sewaktu puasa.

· Insulin glargine adalah analog insulin manusia durasi panjang yang ‘tanpa puncak’, dikembangkan untuk menghilangkan kerugian insulin durasi intermediet atau panjang lainnya. Insulin ini lebih kurang menyebabkan nocturnal hipoglisemia daripada insulin NPH ketika diberikan sebelum tidur pada pasien DM tipe I.

Tabel 17-3

· Pada DM tipe I, rerata kebutuhan harian insulin adalah 0,5-0,6 unit/kg. Ini bisa turun sampai 0,1-0,4 unit/kg pada fase bulan madu. Dosis lebih tinggi (0,5-1 unit/kg) diperlukan ketika terjadi serangan akut atau ketosis. Pada DM tipe II, sering diperlukan dosis 0,7-2,5 unit/kg untuk pasien dengan resistensi insulin.

· Hipoglisemia merupakan efek samping paling umum dari insulin. Perawatannya adalah sebagai berikut:

o Glukosa (10-15 g) oral adalah perawatan yang dianjurkan untuk pasien yang sadar.

o Dextrosa IV bisa diperlukan jika pasien tidak sadar.

o Glukagon, 1 g IM, adalah perawatan pilihan pada pasien yang tidak sadar ketika tidak bisa digunakan rute IV.

Sulfunilurea (Tabel 17-4)

· Glyburide, glipizide, dan sulfonilurea lainnya memberikan aksi hipoglisemia dengan merangsang sekresi insulin pada pankreas. Semua sulfonilurea sama efektifnya untuk menurunkan gula darah ketika diberikan dalam dosis yang setara. Umumnya, HbA1C akan turun 1,5-2,0%.

· Efek samping paling umum adalah hipoglisemia, yang lebih menjadi masalah dengan obat yang bekerja lama (seperti,chlorpropamide). Individu dengan resiko tinggi termasuk lansia, mereka dengan gangguan fungsi ginjal atau penyakit liver stadium lanjut, dan mereka yang tidak makan, melakukan olahraga berlebihan, atau kehilangan berat badan dalam jumlah besar. Berat bertambah umum terjadi; efek samping yang kurang umum termasuk kulit kemerahan,anemia hemolitik, gangguan saluran cerna, dan cholestasis. Hiponatremia paling umum terjadi dengan chlorpropamide tapi juga telah dilaporkan dengan tolbutamide.

· Dosis awal yang dianjurkan sebaiknya dikurangi pada pasien lansia yang sudah mengalami kompromi fungsi renal dan liver. Dosis bisa dititrasi tiap 1-2 minggu (interval lebih panjang untuk chlorpropamide) untuk mendapatkan target glisemi.

Meglitinide

· Serupa dengan sulfonilurea, meglitinide menurunkan glukosa dengan merangsang sekresi insulin pankreas, tapi pelepasan insulin adalah tergantung glukosa dan akan hilang pada konsentrasi glukosa darah rendah. Ini bisa mengurangi potensi untuk hipoglisemi parah. Agen in menghasilkan pelepasan insulin fisiologis lebih banyak dan lebih hebat menurunkan glukosa post-prandial dibandingkan dengan sulfonilurea durasi panjang. Rerata pengurangan HbA1C adalah 0,6-1 %. Obat-obat ini sebaiknya diberikan sebelum makan. Jika ada waktu makan yang dilewatkan, maka obat ini juga tidak diminum. Saat ini tidak ada penyesuaian dosis yang diperlukan untuk lansia.

· Repaglinide (Prandin) dimulai pada 0,5-2 mg dengan dosis maksimum 4 mg tiap makan (sampai 4 makan per ahri atau 16 mg/hari)

· Nateglinide (Starlix) diberikan 120 mg tiga kali sehari sebelum makan. Dosis bisa diturunkan sampai 60 mg tiap makan pada pasien yang HbA1C mendekati target terapi ketika terapi dimulai.

Biguanide

· Metformin adalah satu-satunya biguanida yang tersedia. Metformin mengurangi produksi glukosa dan meningkatkan penggunaan glukosa di perifer. Metformin juga bisa menyebabkan anoreksia ringan yang membantu kontrol glisemi dengan memperkecil bertambahnya berat atau merangsang pengurangan berat. Insulin harus ada agar metformin bisa bekerja. Metformin sama efektifnya dengan sulfonilurea dalam mengontrol glukosa darah. Metformin umumnya lebih mempengaruhi lipid, mengurangi trigliserida puasa sekitar 16% dan low density lipoprotein cholesterol (LDL-C) sekitar 8%, dan meningkatkan HDL-C sekitar 2%. Metformin tidak menyebabkan hipoglisemia ketika digunakan sendirian.

Tabel 17-4

· Efek samping paling umum adalah mual, muntah, diare, anoreksia dan rasa logam. Efek ini bisa dikurangi dengan mentitrasi dosisnya perlahan dan menggunakannya bersama makanan. Sediaan lepas lambat (Glucophage XR) mengurangi efek samping saluran cerna dan bisa digunakan sekali sehari, tapi mempunyai efek yang berbahaya pada lipid dan bisa tidak mempunyai aktivitas glisemik yang setara dengan sediaan metformin konvensional.

· Metformin aksi cepat (Glucophage) diberikan 500 mg dua kali sehari dengan makanan (atau 850 mg sekali sehari) dan ditingkatkan 500 mg tiap minggu (atau 850 mg tiap 2 minggu) sampai dicapai total 2000 mg/hari. Dosis harian maksimum yang dianjurkan adalah 2550 mg/hari.

· Metformin lepas lambat (Glucophage XR) bisa dimulai dengan 500 mg dengan makanan sore hari dan ditingkatkan 500 mg tiap minggu sampai total 2000 mg/hari. Jika kontrol suboptimal bisa didapat dengan dosis sekali sehari pada dosis maksimum, bisa diberikan dosis 100 mg dua kali sehari.

Thiazolidinediones (Glitazone)

· Agen-agen ini mengaktifkan PPARγ, suatu faktor transkripsi nuklear yang penting pada diferensiasi sel lemak dan metabolisme asam lemak. Agonis PPARγ mengurangi resistensi insulin pada perifer (membuat otot dan lemak sensitif terhadap insulin) dan kemungkinan di liver. Insulin harus ada dalam jumlah yang signifikan sehingga aksi ini bisa terjadi. Agen-agen ini umumnya menurunkan trigliserida dan meningkatkan HDL-C, tapi LDL-C juga meningkat.

· Pioglitazone (Actos) dimulai 15-30 mg sekali sehari. Dosis maksimum adalah 45 mg/hari.

· Rosiglitazone (Avandia) dimulai 2-4 mg sekali sehari. Dosis maksimum adalah 8 mg/hari. Respon yang sedikit lebih besar bisa muncul ketika dosis 4-8 mg/hari diberikan dalam dua dosis terbagi.

· Bisa butuh 3-4 bulan untuk melihat efek antihiperglisemi sepenuhnya. Monoterapi seringkali tidak efektif kecuali obat diberikan di awal perjalanan penyakit ketika jumlah sel β masih cukup dan terjadi hiperinsulinemia.

· Edema dan bertambah berat bisa menjadi masalah substantial bagi pasien yang menggunakan glitazone dengan atau tanpa insulin secretagogu. Retensi cairan bisa merangsang atau memperburuk gagal jantung kongestif pada pasien dengan kompromi pada fungsi ventrikel kiri. Rosiglitazone dan pioglitazone tampaknya tidak memberikan masalah toksisitas liver yang menyebabkan troglitazone ditarik dari pasar. Tetapi, uji kerusakan liver (AST, ALT) sebaiknya diperoleh ketika memulai terapi, selama tiap bulan pada tahun pertama, dan secara periodik setelahnya. Kedua obat tidak boleh diberikan jika baseline AST atau ALT melebihi 2,5 kali batas atas normal. Pemberiannya harus dihentikan jika hasil uji melebihi tiga kali batas atas normal atau ada tanda atau simtom kerusakan liver.

Inhibitor α Glukonidase

· Agen-agen ini mencegah pemecahan sukrosa dan karbohidrat kompleks di intestinal kecil, sehingga memperlama absorpsi karbohidrat. Ini berefek langsung pada berkurangnya konsentrasi glukosa post prandial sementara glukosa puasa relatif tidak berubah. Efek pada kontrol glisemi cukup moderat, dengan rerata pengurangan HbA1C 0,3-1%.

· Acarbose (Precose) dan miglitol (Glyset) didosiskan serupa. Terapi dimulai dengan dosis rendah (25-50 mg dengan satu kali makan sehari) dan ditingkatkan bertahap (selama sebulan) sampai maksimum 50 mg tiga kali sehari untuk pasien <60 kg atau 100 mg tiga kali sehari untuk pasien >60 kg.

· Efek samping paling umum adalah perut kembung, diare, dan kejang abdominal, yang bisa dikurangi dengan memperlambat titrasi dosis. Jika hipoglisemia terjadi ketika digunakan bersama dengan agen hipoglisemi (sulfonilurea atau insulin), produk glukosa oral atau parenteral (dextrosa) atau glukagon harus diberikan karena obat akan menginhibit pemecahan dan absrpsi molekul gula yang lebih komplek (seperti, sukrosa).

FARMAKOTERAPI DM TIPE I

· Semua pasien DM tipe I membutuhkan insulin, tapi tipe dan cara pemberiannya berbeda antar individu dan klinisi.

· Strategi terapi sebaiknya dilakukan untuk mencocokkan asupan karbohidrat dengan proses penurunan glukosa (biasanya insulin) dan latihan fisik. Dilakukan modifikasi diet sehingga pasien tetap bisa menjalankan aktivitasnya secara normal.

· Gambar 17-1 menunjukkan hubungan konsentrasi gluksoa dan sekresi insulin sepanjang hari dan bagaimana berbagai regimen insulin bisa diberikan.

· Waktu onset insulin, puncak, dan durasi efek harus memenuhi pola makan dan jadwal latihan untuk mendapatkan konsentrasi glukosa darah mendekati normal untuk sepanjang hari

· Regimen dua injeksi harian yang bisa dengan kasar memperkirakan sekresi insulin fisiologis adalah campuran injeksi dosis pagi insulin NPH dan insulin konvensional sebelum sarapan dan sekali lagi sebelum makan petang (lihat Gambar 17-1 no.1). ini dengan asumsi bahwa insulin NPH pagi memberikan basal insulin basal sepanjang hari dan menutupi kebutuhan untuk makanan tengah hari, insulin pagi hari untuk menutupi sarapan, insulin NPH petang untuk basal insulin untuk sisa hari, dan insulin petang untuk makan petang. Pasien bsa memulai dengan 0,6 unit/kg per hari, dimana dua per tiga diberikan pagi hari dan sisanya untuk dosis petang. Insulin aksi cepat (seperti, NPH) sebaiknya terdiri dari dua per tiga dosis pagi dan satu setengah dosis petang. Tetapi, kebanyakan pasien sulit untuk dikontrol asupan glukosa dari makanan dengan pendekatan ini. Jika glukosa puasa di pagi hari terlalu tinggi, dosis NPH petang bisa dipindahkan ke sebelum tidur (hingga total tiga injeksi per hari). Ini bisa memberikan intensifikasi terapi yang cukup untuk beberapa pasien.

· Konsep injeksi basal-bolus mencoba untuk meniru fisiologi insulin normal dengan memberikan insulin kerja intermediet atau kerja panjang sebagai komponen basal dan insulin kerja singkat sebagai bagian bolus (lihat Gambar 17-1, no.2-4). Terapi intensif menggunakan pendekatan ini dianjurkan untuk semua dewasa sewaktu diagnosa untuk memperkuat pentingnya kontrol glisemi dari awal terapi. Karena anak-anak dan remaja menjelang pubertas relatif terlindungi dari komplikasi mikrovaskular dan harus ditangani dengan regimen yang praktis penggunaannya, terapi yang kurang intensif (dua injeksi per hari insulin campuran) bisa diberikan sampai mereka mencapai pubertas.

· Komponen basal insulin bisa disediakan oleh insulin NPH, Lente, atau Ultralente sekali atau (yang lebih umum) dua kali sehari atau insulin glargine sekali sehari. Insulin glargine adalah suplemen insulin basal yang praktis untuk kebanyakan pasien karena tidak mempunyai puncak efek yang harus dipertimbangkan dalam perencanaan makanan dan aktivitas dengan insulin kerja panjang lainnya.

Gambar 17-1

· Komponen insulin bolus diberikan sebelum makan dengan insulin biasa, insulin lispro, atau insulin aspart. Onset yang cepat dan durasi singkat dari insulin lispro dan insulin aspart lebih dekat meniru fisiologis normal daripada insuln biasa, sehingga pasien bisa menggunakan variasi jumlah yang berbeda berdasarkan pada level SMBG preprandial, level aktivitas yang akan dilakukan, dan asupan karbohidrat yang akan diambil. Kebanyakan pasien mempunyai dosis insulin preprandial yang bisa mereka variasikan berdasar algoritma (aturan pemberian) insulin. Hitung karbohidrat adalah alat yang efektif untuk menentukan jumlah insulin yang akan diinjeksikan preprandial.

· Sebagai contoh, pasien bisa mulai dengan sekitar 0,6 unit/kg per hari insulin, dengan insulin basal 45% dari total dosis dan insulin prandial 25% dari tortal dosis sebelum sarapan, 15% sebelum makan siang dan 15% sebelum makan malam. Kebanyakan pasien membutuhkan dosis total harian antara 0,5-1 unit/kg per hari.

· Continous subcutaneous insulin infusion, CSII, (infusi insulin subkutan berkelanjutan) adalah bentuk terbaik untuk pengiriman insulin basal-bolus (lihat Gambar 17-1 no 5). Dosis insulin basal bisa bervariasi, konsisten dengan perubahan kebutuhan insulin sepanjang hari. Pada pasien terpilih, CSII bisa memberikan kontrol glisemi lebih baik. Tetapi, metode ini membutuhan perhatian lebih besar untuk detail dan frekuensi SBMG jika dibandingkan dengan empat injeksi tiap hari.

· Semua pasien yang menerima insulin sebaiknya mendapat edukasi pada pengenalan dan pengatasan hipoglisemi.

FARMAKOTERAPI DM TIPE II (GAMBAR 17-2)

· Pasien simtomatik bisa awalnya membutuhkan insulin utnuk mengurangi toksisitas glukosa (yang bisa mengurangi sekresi insulin sel β dan memperburuk resistensi insulin).

· Pasien dengan HbA1C <7% biasanya dirawat dengan ukuran terapi gaya hidup. Mereka dengan HbA1C >7% tapi <8% awalnya dirawat dengan agen oral tunggal. Kebanyakan pasien dengan nilai HbA1C lebih tinggi dari 9%-10% membutuhkan dua agen atau lebih untuk mencapai target glisemi.

· Pasien obese (>120% berat badan ideal) sebaiknya memulai dengan metformin, dititrasi sampai paling tidak 2000 mg/hari, jika tidak ada kontraindikasi. Suatu thiazolidinedione (rosiglitazone, pioglitazone) bisa digunakan pada pasien dengan intoleransi atau dikontraindikasikan terhadap metformin.

Gambar 17-2

· Pasien dengan berat badan mendekati normal bisa dirawat dengan insulin secretagogu.

· Inhibitor α glukosidase bisa digunakan pada pasien yang beresiko untuk hipoglisemi, pada pasien dengan manifestasi terutama hiperglisemi postprandial, dan dalam kombinasi dengan hampir semua obat lain.

· Jika terapi awal gagal sebaiknya digunakan obat kedua sebagai tambahan. Penggantian obat dari kelas lain sebaiknya disimpan untuk kasus intoleransi obat.

· Terapi kombinasi awal baik untuk pasien dengan HbA1C >9% -10%. Produk kombinasi oral yang mengandung glyburideb dan metformin (Glucovance) telah disetujui sebagai terapi pilihan pertama.

· Setelah pasien gagal dengan dua obat, bisa ditambahkan kelas ketiga (biasanya rosiglitazone atau pioglitazone), meski terapi seperti ini saat ini belum disetujui FDA. Suatu alternatif adalah menambah insulin sewaktu tidur, menggunakan insulin kerja intermediet atau kerja panjang.

· Hampir semua pasien pada akhirnya menjadi insulinopeni dan membutuhkan terapi insulin. Pasien seringkali berpindah ke insulin dengan menggunakan injeksi insulin kerja intermediat atau kerja panjang sebelum tidur dengan agen oral yang digunakan terutama untuk kontrol glisemia sepanjang hari. Ini menyebabkan lebih kurang hiperinsulinemia sepanjang hari dan berat yang bertambah lebih sedikit daripada menggunakan strategi pemakaian insulin tradisional. Insulin sensitizers umum digunakan dengan insulin karena kebanyakan pasien resisten insulin.

· Ketika kombinasi insulin sebelum tidur dan medikasi oral untuk sepanjang hari gagal, regimen insulin multiple dose dengan atau tanpa insulin sensitizer bisa digunakan.

· Karena variasi pada resistensi insulin, dosis insulin bisa berkisar dari 0,7-2,5 unit/kg per hari atau lebih.

· Pasien lansia yang baru saja didiagnosa DM tipe II sebaiknya target glisemi-nya lebih longgar karena peningkatan resiko untuk hipoglisemi dan kemungkinan resiko jangka panjang terjadinya komplikasi mikrovaskular. Pasien yang lebih kurus bisa dirawat dengan menggunakan insulin secretagogue yang kerjanya lebih singkat. Metformin bisa menjadi masalah di usia tua, karena resiko ketoasidosis meningkat dengan bertambahnya usia. Regime insulin sederhana bisa menjadi pendekatan yang diinginkan untuk pasien lansia yang baru didiagnosa DM.

PENANGANAN KOMPLIKASI MIKROVASKULAR

Retinopati

· Pasien dengan retinopati sebaiknya diperiksa oleh optalmologis paling tidak tiap 6-12 bulan.

· Retinopati tahap awal masih bisa dinormalkan dengan kontrol glisemi. Penyakit yang lebih parah tidak bisa dibantu dengan kontrol glisemi, bahkan kondisinya bisa memburuk dengan perbaikan glisemi jangka pendek.

· Fotokoagulasi laser telah terbukti meningkatkan penglihatan pada pasien diebetes.

Neuropati

· Neuropati perifer adalah komplikasi paling umum pada pasien DM tipe II rawat jalan. Parestesis, numb, atau nyeri bisa menjadi simtom dominan. Kaki bisa lebih terserang dari tangan. Peningkatan kontrol glisemi bisa meringankan beberapa simtom. Terapi farmakolgi adalah simtomatik dan empirik, termasuk dosis rendah tricyclic antidepresan, anti konvulsan (fenitin, gabapentin, carbamazepin), kapsaicin topikal, dan berbagai analgesik, termasuk NSAID.

· Gastroparesis bisa sangat parah dan melemahkan pasien. Perbaikan kontrol glisemi, penghentian pengobatan yang memperlambat motilitas lambung, dan penggunaan metoclorpramide (biasanya hanya untuk beberapa hari) atau eritromisin bisa membantu.

· Pasien dengan orthostatic hipotension (= hipotensi karena postur tubuh) bisa membutuhkan volume expander dan agen adrenergik.

· Diare Diabetic sering terjadi malam hari dan seringkali bisa sembuh dengan penggunaan antibiotik seperti doksisiklin atau metronidasol selama 10-14 hari. Octreotide bisa berguna pada kasus yang tidak merespon antibiotik pilihan pertama.

· Disfungsi ereksi seringkali neuropati dan vasculogenic. Sildenafil efektif pada sekitar setengah pasien diebetes dengan disfungsi ereksi.

Nefropati

· Kontrol glukosa dan tekanan darah adalah yang terpenting untuk pencegahan nefropati, dan kontrol tekanan darah adalah yang terpenting untuk menghambat perkembangan netropati.

· Angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor adalah terapi awal yang dianjurkan. Angiotensin receptor blocker bisa juga mempunyai efek proteksi. Diuretik sering diperlukan karena kondisi bertambahnya volume.

PENANGANAN KOMPLIKASI MAKROVASKULAR

Penyakit Jantung Koroner

· Penanganan berbagai faktor resiko (penanganan disipidemia dan hipertensi, berhenti merokok, terapi antiplatelet) mengurangi kejadian makrovaskular.

· Menurut panduan NCEP ATP III terkini (lihat bab 8), adanya DM adalah faktor resiko yang setara dengan panyakit jantung koroner, dan target LDL-C adalah <100 mg/dl. Setelah tujuan ini tercapai (biasanya dengan statin), penanganan trigliserida yang tinggi (>200 mg/dl) bisa dimulai. Tujuan non-HDL untuk pasien dengan DM adalah <130 mg/dl. Niasin atau fibrate bisa ditambahkan untuk mencapai tujuan itu jika trigliserida antara 201-499 mg/dl, atau jika pasien memiliki HDL-C yang rendah (<40 mg/dl).

· The American Diabetes Association menganjurkan target tekanan darah <130/85 mmHg pada pasien dengan DM. the National Kidney Foundation menganjurkan target <130/80. Pada pasien dengan proteinuria >1 g/hari dan gangguan fungsi ginjal, target <125/75 mmHg dianjurkan. ACE inhibitor umumnya dianjurkan untuk terapi awal. Diuretik atau Ca channel blocker berguna sebagai agen kedua atau ketiga.

· Terapi β blocker memberikan perlindungan lebih hebat dari serangan ulang penyakit jantung koroner pada pasien diabet daripada pasien non-diabet. Menghilangkan simtom hipoglisemi lebih menjadi masalah pada pasien DM tipe I daripada pasien DM tipe II.

Penyakit Vaskular Perifer dan Ulser Kaki

· Nyeri kaki dan ulser kaki yang sulit sembuh umum dijumpai pada DM tipe II.

· Penghentian merokok, menangani dislipidemia, dan terapi antiplatelet merupakan strategi perawatan yang penting.

· Pentoxifylline (Trental) atau cilostazol (Pletal) bisa berguna pada pasein terpilih.

· Re-vaskularisasi berhasil pada pasien terpilih.

· Pengangkatan jaringan dan penggunaan alas kaki yang sesuai serta perawatan kaki sangat penting pada penanganan awal lesi kaki. Perawatan topikal bisa bermanfaat pada lesi yang lebih parah.

Ø EVALUASI HASIL TERAPI

· HbA1C adalah standar terkini sebagai lanjutan untuk kontrol glisemi jangka panjang dari 3 bulan sebelumnya.

· Apa pun regimen insulin yang dipilih, penyesuaian kasar pada dosis total harian insulin bisa dibuat berdasarkan pengukuran HbA1C dan simtom seperti poliuri, polidipsi (= merasa sangat haus), serta bertambah atau berkurangnya berat. Penyesuaian insulin yang lebih baik bisa ditentukan berdasarkan hasil dari SBMG.

· Pasien yang menerima insulin sebaiknya dimonitor untuk hipoglisemi dengan menanyakan mengenai berkeringat pada malam hari, palpitasi (= denyut jantung yang tidak teratur), dan mimpi buruk, dan juga hasil dari SBMG.

· Pasien dengan DM tipe II sebaiknya melakukan urinalisis rutin sewaktu diagnosis sebagai uji skrining awal untuk albuminuria. Jika positif, urine 24 jam akan digunakan untuk membantu dalam mengembangkan rencana perawatan. Jika urinalisis negatif untuk protein, bisa dilakukan uji untuk mengevaluasi kehadiran mikroalbuminuria.